JAKARTA - Sejak diluncurkan, kurikulum 2013 tidak lepas dari kontroversi. Banyak pihak mengkritik, penerapannya tidak hanya tergesa-gesa, tetapi kurikulum ini juga sarat masalah.
Sebagai penggagas kurikulum 2013, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) M Nuh mengakui, kurikulum ini belum sempurna. Ada beberapa kelemahan yang memerlukan perbaikan kontinyu.
"Tapi secara subjektif, saya bisa bilang, ini kurikulum yang baik," tutur Nuh.
Baru-baru ini, Nuh meluangkan waktu berbicara tentang kurikulum 2013 di Jalan Cut Mutia, Menteng, Jakarta Pusat. Berikut petikan wawancaranya:
Penerapan terbatas kurikulum 2013 mengindikasikan pemerintah saat ini melihat adanya masalah. Tanggapan Anda?
Kalau masalahnya secara substansi, maka 6.000-an sekolah yang menerapkannya juga seharusnya dilarang. Tidak lantas malah melarang sekolah lain yang siap menerapkan kurikulum 2013.
Kalau pakai logika, maka tidak ada masalah dengan substansi kurikulum 2013. Jika demikian dan yang 6.000-an sudah siap, kenapa sekolah lain dilarang?
Menurut Anda, kelemahan kurikulum 2013 sendiri apa?
Saya melihatnya sistem logistik, jadi kendala teknis. Dan kedua, sistem evaluasi guru.
Kurikulum 2013 mengajak guru berubah karena mereka sudah terbiasa di zona nyaman. Ada guru yang resisten, tetapi jangan lupa, ada juga guru yang sangat senang mendapat pelatihan.
Kalau saya lihat dari hasil pelatihan, nilai paling rendah adalah evaluasi. Dan jika kita menggunakan basis pengukuran, berapa sih kemampuan guru dalam memahami KTSP? Ujian Kompetensi Guru (UKG) adalah cermin pemahaman guru tentang KTSP 2006. Dan saat itu tidak ada satu pihak pun mempersoalkan kesiapan guru dalam menerapkan KTSP.
Pada kurikulum 2013, nilai rata-rata pre-test adalah 43, hampir sama dengan UKG yang nilai rata-ratanya 43-45. Setelah dilatih dan dites ulang, nilai rata-rata menjadi 71. Tetapi bukan berarti tidak ada guru yang masih mendapat nilai 40-an. Jumlanya mencapai ribuan orang dari 1,2 juta guru yang dilatih memahami kurikulum 2013. Kalau ini yang disorot, jelas banyak masalah.
Jika problemnya memang teknis, mengapa tetap dipaksakan secara massal? Sebab teknis kan mendukung pelaksanaan substansi kurikulum?
Saya bisa dikatakan salah tentang hal ini. Misalnya juga tentang percetakan. Mereka yang menang tender kan sudah janji akan memenuhi kebutuhan buku sebelum pertengahan Juni. Semua sudah ada kontraknya dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Semuanya juga dapat diterima secara rasional, mulai dari hitung-hitungan kemampuan kapasitas hingga waktu produksi.
Tetapi mengapa di lapangan banyak yang gagal memenuhi target, termasuk percetakan besar?
Itu yang saya tidak habis fikir. Padahal sudah juga diberi toleransi satu bulan. Makanya terus kami siapkan alternatif, materi pelajaran disimpan dalam CD atau bisa diunduh guru dari internet.
Kalau mau diangkat rasionalitas, tidak ada permasalahan buku. Sebab, semua percetakan pemenang tender mengaku siap dan menandatangani kontrak. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Apakah tidak perlu dipikirkan ada apa di balik itu semua?
Bagaimana dengan masalah pelatihan guru?
Pelatihan guru juga demikian, harus diperkuat. Makanya kita juga memberikan pendampingan guru melalui klinik konsultasi pembelajaran.
Dulu di KTSP tidak ada pelatihan massal. Ini juga kata para tokoh yang membidani lahirnya kurikulum 2013. Mereka juga mengaku, belum pernah dilibatkan dalam proses pembuatan kurikulum. "Kami baru terlibat, Pak," kata mereka.
By: Ray Dwiko
Post a Comment