Alasan M Nuh Menerapkan Kurikulum 2013

JAKARTA - Imbas pembatasan penerapan kurikulum 2013 adalah pemberlakuan kembali Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. Ini berarti, peserta didik di Tanah Air akan menggunakan kembali metode belajar yang minim pendidikan sikap.
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) M Nuh menilai, begitu kembali ke KTSP, maka kita harus rela para siswa belajar bahasa Indonesia hanya dua jam dan siswa SMK tidak mempelajari sejarah Tanah Air. Kita pun harus rela konten-konten yang mendukung penilaian TIMMS dan PISA harus berkurang lagi.
"Kita harus rela seruan-seruan tentang pentingnya budi pekerti tidak ada lagi," ujar Nuh.
Menurut Nuh, ada baiknya kebijakan penerapan terbatas kurikulum 2013 ditetapkan dengan menunggu satu tahun ajaran selesai, bukan di tengah tahun seperti sekarang. Kemudian, pemerintah bisa mengevaluasi dan menyiapkan jembatan untuk menghubungkan kedua kurikulum tersebut.
Selain itu, pemberian jangka waktu tersebut juga membuat buku-buku teks kurikulum 2013 yang mencapai dua triliun eksemplar dapat dimanfaatkan, tidak hanya teronggok di gudang. Menurut Nuh, seperti halnya masyarakat menganggap penerapan kurikulum terburu-buru, maka kebijakan terbaru dari Mendikbud Anies Baswedanini pun sangat tergesa-gesa.
"Saya enggak bisa mengatakan apa-apa lagi tentang keputusan yang singkat dalam satu bulan ini. Ini orang super cerdas," tuturnya.
Kurikulum 2013 sendiri dirumuskan sejak 2011 lalu. Kemudian, pada 2012 Kemendikbud mulai menguji coba kurikulum yang dipersiapkan untuk menggantikan KTSP. Pada 2013, ada 6.221 sekolah menjadi proyek percontohan penerapan kurikulum 2013. Kemudian, penerapannya menjadi massif pada 2014.
Dalam sebuah pertemuan di Jalan Cut Mutia, Menteng, Jakarta Pusat, Nuh pun memaparkan alasan penerapan kurikulum 2013. Berikut petikan wawancaranya:
Sebagian besar masyarakat sebenarnya menerima semangat kurikulum 2013. Tetapi, jika ribuan sekolah percontohan memang belum siap, mengapa terkesan ambisius untuk menerapkannya secara massal pada 2014? Akibatnya, terjadi banyak kekacauan.
Berarti ini masalah teknis, toh, bukan substansi? Saya sering menampilkan hasil sensus penerapan kurikulum 2013 di 6.000-an sekolah percontohan. Semua hasilnya positif, baik dari sisi guru maupun siswa. Karena sangat positif itulah, kenapa tidak diterapkan menyeluruh. Itulah pertanyaannya.

Kami lantas melakukan penataran guru besar-besaran. Kami juga menyiapkan buku. Memang ada persoalan dalam urusan buku ini, justru sistem logistik itulah yang harus dibenahi.
Ada alasan lain dalam penerapan kurikulum 2013 ini?
Saya nangis, lho, Mbak. Siswa di sekolah-sekolah yang bagus dan bayarnya puluhan juta mendapatkan pendidikan yang baik. Saya tidak rela jika siswa Indonesia di pelosok tidak dapat merasakan hal yang sama. Kasih mereka kesempatan. Jangan dimonopoli kebaikan ini hanya pada sekolah-sekolah mahal saja. Kasihan, anak-anak di pelosok ini sudah miskin, kurikulumnya juga miskin.

Panggilan moral saya adalah saya kepingin, apa yang dianggap baik, kalau toh belum bisa ditelan oleh sekolah-sekolah yang terbatas kemampuannya, setidaknya bisa kita baui. Kalau belum bisa dibaui, setidaknya mereka bisa melihat.

Makanya, saya bismillah menerapkan kurikulum 2013, sehingga anak-anak di pedalaman dan di sekolah-sekolah inpres bisa merasakan kurikulum yang baik juga.
Banyak orangtua mengeluh, mereka ikut repot karena pemberlakuan kurikulum 2013. Tanggapan Bapak?
Kami memang ingin yang belajar tidak hanya siswa, tetapi juga para orangtua. Kami ingin membangun Indonesia sebagai masyarakat pembelajar. Karena itulah, siswa ditugaskan untuk bertanya kepada orangtua. Memang tambah repot. Tetapi, tidak ada ceritanya enak-enakan dalam pendidikan, karena ke depan akan lebih berat.

Kalau mau enak-enakan, siswa pulang sekolah pukul 12 dan kemudian tidak ada pekerjaan rumah (PR). Tapi apa kita mau mengorbankan masa depan anak-anak kita demi masa depan yang lebih rumit dengan santai-santai saja?
Jadi ini kurikulum ideal?

Secara subjektif saya bisa menyatakan kurikulum ini relatif baik.

By: Ray Dwiko

Post a Comment

 
Copyright © 2013. Koran Jawa Timur - All Rights Reserved